Cerita Gaib - Asal Usul 9 Wali Songo
Cerita Gaib - Mereka ialah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bunang, Sunan Dradjad, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, dan Sunan Gunung Jati, mereka tidak hidup pada saat yang persisi bersamaan, tapi satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, bila tidak dalam ikatan darah juga dalam hubungan guru-murid.
Maulana Malik Ibrahim yang tertua, Sunan Ampel anak Maulana Malik Ibrahim, Sunan Giri ialah keponakan Maulana Malik Ibrahim yang berarti juga sepupu Sunan Ampel, Sunan Bonang dan Sunan Drajad adalah anak Sunan Ampel, Sunan Kalijaga merupakan sahabat sekaligus murid Sunan Bonang, Sunan Muria anak Sunan Kalijaga, Sunan Kudus murid Sunan Kalijaga, Sunan Gunung Jati ialah sahabat para Sunan lain, kecuali Maulana Malik Ibrahim yang lebih dahulu meninggal.
Mereka tinggal di pantai utara Jawa dari awal abad 15 hingga pertengahan abad 16, di tiga wilayah penting, Yakni Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, dan Cirebon di Jawa Barat, Mereka ialah para intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya, Mereka mengenalkan berbagai bentuk peradaban baru: mulai dari kesehatan, bercocok tanam, niaga, kebudayaan dan kesenian, kemasyarakatan hingga pemerintahan.
Pesantren Ampel Denta dan Giri ialah dua institusi pendidikan paling penting di masa itu, Dari Sunan Giri, peradaban Islam berkembang ke seluruh wilayah Timur Nusantara, Sunan Giri dan Sunan Gunung Jati bukan hanya ulama, tapi juga sebagai pemimpin pemerintahan, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, dan Sunan Kudus ialah kreator karya seni yang pengaruhnya masih terasa sampai saat ini, Sedangkan Sunan Muria aialah pendamping sejati kaum jelata.
Masing-masing tokoh tersebut mempunyai peran yang unik dalam penyebaran Islam, Mulai dari Maulana Malik Ibrahim yang menempatkan diri sebagai “tabib” bagi Kerajaan Hindu Majapahit, Sunan Giri yang disebut para kolonialis sebagai “paus dari Timur” sampai Sunan Kalijaga yang mencipta karya kesenian dengan menggunakan nuansa yang dapat dipahami masyarakat Jawa ialah nuansa Hindu dan Budha.
1. Maulana Malik Ibrahim
Maulana Malik Ibrahim, atau Makdum Ibrahim As-Samarkandy diperkirakan lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh awal abad 14, Babad Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah Jawa terhadap As-Samarkandy, berubah menjadi Asmarakandi.
Maulana Malik Ibrahim kadang juga disebut sebagai Syekh Magribi, Sebagian rakyat malah menyebutnya Kakek Bantal, dia bersaudara dengan Maulana Ishak, ulama terkenal di Samudra Pasai, sekaligus ayah dari Sunan Giri (Raden Paku), Ibrahim dan Ishak ialah anak dari seorang ulama Persia, bernama Maulana Jumadil Kubro, yang menetap di Samarkand. Maulana Jumadil Kubro diyakini sebagai keturunan ke-10 dari Syayidina Husein, cucu Nabi Muhammad saw.
Maulana Malik Ibrahim pernah bermukim di Campa, sekarang Kamboja, selama tiga belas tahun sejak tahun 1379, dia malah menikahi putri Raja, yang memberinya dua putra, Mereka adalah Raden Rahmat (dikenal dengan Sunan Ampel) dan Sayid Ali Murtadha alias Raden Santri, Merasa cukup menjalankan misi dakwah di negeri itu, tahun 1392 M Maulana Malik Ibrahim hijrah ke Pulau Jawa meninggalkan keluarganya.
Beberapa versi menyatakan bahwa kedatangannya disertai beberapa orang, Daerah yang ditujunya pertama kali ialah Desa Sembalo, daerah yang masih berada dalam wilayah kekuasaan Majapahit, Desa Sembalo sekarang, adalah daerah Leran kecamatan Manyar, 9 kilometer utara kota Gresik.
Aktivitas pertama yang dilakukannya saat itu ialah berdagang dengan cara membuka warung, Warung itu menyediakan kebutuhan pokok dengan harga murah, Selain itu secara khusus Malik Ibrahim juga menyediakan diri untuk mengobati masyarakat secara gratis, Sebagai tabib, kabarnya, dia pernah diundang untuk mengobati istri raja yang berasal dari Campa, Besar kemungkinan permaisuri tersebut masih kerabat istrinya.
Kakek Bantal juga mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam, dia merangkul masyarakat bawah kasta yang disisihkan dalam Hindu, Maka sempurnalah misi pertamanya, ialah mencari tempat di hati masyarakat sekitar yang ketika itu tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara, Selesai membangun dan menata pondokan tempat belajar agama di Leran, tahun 1419 M Maulana Malik Ibrahim wafat, Makamnya kini terdapat di kampung Gapura, Gresik, Jawa Timur.
2. Sunan Ampel
Sunan Ampel ialah putera tertua Maulana Malik Ibrahim, Menurut Babad Tanah Jawi dan Silsilah Sunan Kudus, di masa kecilnya dia dikenal dengan nama Raden Rahmat, dia lahir di Campa pada 1401 Masehi, Nama Ampel sendiri, diidentikkan dengan nama tempat dimana dia lama bermukim, di daerah Ampel atau Ampel Denta, wilayah yang kini menjadi bagian dari Surabaya (kota Wonokromo sekarang).
Beberapa versi menyatakan bahwa Sunan Ampel masuk ke pulau Jawa pada tahun 1443 M bersama Sayid Ali Murtadho, sang adik, Tahun 1440, sebelum ke Jawa, mereka singgah dulu di Palembang, Setelah tiga tahun di Palembang, kemudian dia melabuh ke daerah Gresik, dilanjutkan pergi ke Majapahit menemui bibinya, seorang putri dari Campa, bernama Dwarawati, yang dipersunting salah seorang Raja Majapahit beragama Hindu bergelar Prabu Sri Kertawijaya.
Sunan Ampel menikah dengan putri seorang adipati di Tuban, Dari perkawinannya itu dia dikaruniai beberapa putera dan puteri, diantaranya yang menjadi penerusnya adalah Sunan Bonang dan Sunan Drajat, saat Kesultanan Demak (25 kilometer arah selatan kota Kudus) hendak didirikan, Sunan Ampel turut membidani lahirnya kerajaan Islam pertama di Jawa itu, dia pula yang menunjuk muridnya Raden Patah, putra dari Prabu Brawijaya V raja Majapahit, untuk menjadi Sultan Demak tahun 1475 M.
Di Ampel Denta yang berawa-rawa, daerah yang dihadiahkan Raja Majapahit, dia membangun mengembangkan pondok pesantren, Mula-mula dia merangkul masyarakat sekitarnya, Pada pertengahan Abad 15, pesantren tersebut menjadi sentra pendidikan yang sangat berpengaruh di wilayah Nusantara bahkan mancanegara, diantara para santrinya ialah Sunan Giri dan Raden Patah, Para santri tersebut kemudian disebarnya untuk berdakwah ke berbagai pelosok Jawa dan Madura.
Sunan Ampel menganut fikih mahzab Hanafi, Namun, pada para santrinya, dia hanya memberikan pengajaran sederhana yang menekankan pada penanaman akidah dan ibadah, Dia-lah yang mengenalkan istilah “Mo Limo” (moh main, moh ngombe, moh maling, moh madat, moh madon), ialah seruan untuk "tidak berjudi, tidak minum minuman keras, tidak mencuri, tidak menggunakan narkotik, dan tidak berzina."
Sunan Ampel diperkirakan wafat pada tahun 1481 M di Demak dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel, Surabaya.
3. Sunan Giri
Dia memiliki nama kecil Raden Paku, alias Muhammad Ainul ialah Sunan Giri lahir di Blambangan (kini Banyuwangi) pada 1442 M, ada juga yang menyebutnya Jaka Samudra, Sebuah nama yang dikaitkan dengan masa kecilnya yang pernah dibuang oleh keluarga ibunya seorang putri Raja Blambangan bernama Dewi Sekardadu ke laut, Raden Paku kemudian dipungut anak oleh Nyai Semboja (Babad Tanah Jawi versi Meinsma).
Ayahnya ialah Maulana Ishak, saudara sekandung Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishak berhasil meng-Islamkan isterinya, tapi gagal mengislamkan sang mertua, oleh karena itulah dia meninggalkan keluarga isterinya berkelana sampai ke Samudra Pasai.
Sunan Giri kecil menuntut ilmu di pesantren misannya, Sunan Ampel, tempat dimana Raden Patah juga belajar, dia sempat berkelana ke Malaka dan Pasai, setelah merasa cukup ilmu, dia membuka pesantren di daerah perbukitan Desa Sidomukti, Selatan Gresik, Dalam bahasa Jawa, bukit ialah “Giri”, Maka dia dijuluki Sunan Giri.
Pesantrennya tak hanya dipergunakan sebagai tempat pendidikan dalam arti sempit, namun juga sebagai pusat pengembangan masyarakat, Raja Majapahit - konon karena khawatir Sunan Giri mencetuskan pemberontakan memberi keleluasaan padanya untuk mengatur pemerintahan, maka pesantren itu pun berkembang menjadi salah satu pusat kekuasaan yang disebut Giri Kedaton, Sebagai pemimpin pemerintahan, Sunan Giri juga disebut sebagai Prabu Satmata.
Giri Kedaton tumbuh menjadi pusat politik yang penting di Jawa, waktu itu, saat Raden Patah melepaskan diri dari Majapahit, Sunan Giri malah bertindak sebagai penasehat dan panglima militer Kesultanan Demak, Hal tersebut tercatat dalam Babad Demak, Selanjutnya, Demak tak lepas dari pengaruh Sunan Giri, dia diakui juga sebagai mufti, pemimpin tertinggi keagamaan, se-Tanah Jawa.
Giri Kedaton bertahan hingga 200 tahun, salah seorang penerusnya, Pangeran Singosari, dikenal sebagai tokoh paling gigih menentang kolusi VOC dan Amangkurat II pada Abad 18.
Para santri pesantren Giri juga dikenal sebagai penyebar Agama Islam yang gigih ke berbagai pulau, seperti Bawean, Kangean, Madura, Haruku, Ternate, sampai Nusa Tenggara, Penyebar Islam ke Sulawesi Selatan, Datuk Ribandang dan dua sahabatnya, ialah murid Sunan Giri yang berasal dari Minangkabau.
Dalam keagamaan, dia dikenal karena pengetahuannya yang luas dalam ilmu fikih, Orang-orang pun menyebutnya sebagai Sultan Abdul Fakih, dia juga pecipta karya seni yang luar biasa, Permainan anak seperti Jelungan, Jamuran, lir-ilir dan cublak suweng disebut sebagai kreasi Sunan Giri, Demikian pula Gending Asmaradana dan Pucung lagi bernuansa Jawa namun syarat dengan ajaran Islam.
4. Sunan Bonang
Dia anak Sunan Ampel, yang berarti juga cucu Maulana Malik Ibrahim, nama kecilnya ialah Raden Makdum Ibrahim, Lahir diperkirakan 1465 M dari seorang perempuan bernama Nyi Ageng Manila, puteri seorang adipati di Tuban.
Sunan Kudus banyak berguru kepada Sunan Kalijaga, Kemudian dia berkelana ke berbagai daerah tandus di Jawa Tengah seperti Sragen, Simo hingga Gunung Kidul, cara berdakwahnya pun meniru pendekatan Sunan Kalijaga, sangat toleran pada budaya setempat, cara penyampaiannya bahkan lebih halus, itu sebabnya para wali yang kesulitan mencari pendakwah ke Kudus yang mayoritas masyarakatnya pemeluk teguh menunjuknya.
Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus ialah dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan Budha, hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus, Bentuk menara, gerbang dan pancuran/padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha, sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan Kudus.
Suatu waktu, dia memancing masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan tabligh-nya, untuk itu, dia sengaja menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid, Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi, menjadi simpati, apa lagi setelah mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al Baqarah, yang berarti “sapi betina”, Sampai sekarang, sebagian masyarakat tradisional Kudus, masih menolak untuk menyembelih sapi.
Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan, kisah tersebut disusunnya secara berseri, sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti kelanjutannya, sebuah pendekatan yang tampaknya mengadopsi cerita 1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah. dengan begitulah Sunan Kudus mengikat masyarakatnya.
Bukan hanya berdakwah seperti itu yang dilakukan Sunan Kudus, Sebagaimana ayahnya, dia juga pernah menjadi Panglima Perang Kesultanan Demak, dia ikut bertempur saat Demak, di bawah kepemimpinan Sultan Prawata, bertempur melawan Adipati Jipang, Arya Penangsang.
5. Sunan Kalijaga
Dialah "Wali" yang namanya paling banyak disebut masyarakat Jawa, dia lahir sekitar tahun 1450 Masehi, Ayahnya ialah Arya Wilatikta, Adipati Tuban keturunan dari tokoh pemberontak Majapahit, Ronggolawe, masa itu, Arya Wilatikta diperkirakan telah menganut Islam.
Nama kecil Sunan Kalijaga ialah Raden Said, dia juga memiliki sejumlah nama panggilan seperti Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran Tuban atau Raden Abdurrahman, Terdapat beragam versi menyangkut asal-usul nama Kalijaga yang disandangnya.
Masyarakat Cirebon berpendapat bahwa nama itu berasal dari dusun Kalijaga di Cirebon, Sunan Kalijaga memang pernah tinggal di Cirebon dan bersahabat erat dengan Sunan Gunung Jati, Kalangan Jawa mengaitkannya dengan kesukaan wali ini untuk berendam (‘kungkum’) di sungai (kali) atau “jaga kali”, Namun ada yang menyebut istilah itu berasal dari bahasa Arab “qadli dzaqa” yang menunjuk statusnya sebagai “penghulu suci” kesultanan.
Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun, Dengan demikian dia mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546 serta awal kehadiran Kerajaan Mataram di bawah pimpinan Panembahan Senopati, dia ikut pula merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak, Tiang “tatal” (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga.
Dalam dakwah, dia punya pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang, Paham keagamaannya cenderung “sufistik berbasis salaf” bukan sufi panteistik (pemujaan semata), dia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah.
Dia sangat toleran pada budaya lokal, dia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya, maka mereka harus didekati secara bertahap mengikuti sambil mempengaruhi, Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang.
Maka ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam, dia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, dan seni suara suluk sebagai sarana dakwah, Dialah pencipta Baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, Layang Kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi Raja, Lanskap pusat kota berupa Kraton, alun-alun dengan dua beringin serta Masjid diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga.
Metode dakwah tersebut sangat efektif, Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga, diantaranya ialah Adipati Padanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, dan pajang (sekarang Kotagede–Yogya), Sunan Kalijaga dimakamkan di Kadilangu selatan Demak.
6. Sunan Gunung Jati
Banyak kisah tak masuk akal yang dikaitkan dengan Sunan Gunung Jati, Diantaranya ialah bahwa dia pernah mengalami perjalanan spiritual seperti Isra’ Mi’raj, lalu bertemu Rasulullah SAW, bertemu Nabi Khidir, dan menerima wasiat Nabi Sulaeman. (Babad Cirebon Naskah Klayan hal.xxii).
Semua itu hanya mengisyaratkan kekaguman masyarakat masa itu pada Sunan Gunung Jati, Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah diperkirakan lahir sekitar tahun 1448 M, Ibunya ialah Nyai Rara Santang, putri dari Raja Pajajaran Raden Manah Rarasa, sedangkan ayahnya ialah Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda, pembesar Mesir keturunan Bani Hasyim dari Palestina.
Syarif Hidayatullah mendalami ilmu agama sejak berusia 14 tahun dari para ulama Mesir, dia sempat berkelana ke berbagai negara, Menyusul berdirinya Kesultanan Bintoro Demak, dan atas restu kalangan ulama lain, dia mendirikan Kasultanan Cirebon yang juga dikenal sebagai Kasultanan Pakungwati.
Dengan demikian, Sunan Gunung Jati ialah satu-satunya “Wali Songo” yang memimpin pemerintahan, Sunan Gunung Jati memanfaatkan pengaruhnya sebagai putra Raja Pajajaran untuk menyebarkan Islam dari pesisir Cirebon ke pedalaman Pasundan atau Priangan.
Dalam berdakwah, dia menganut kecenderungan Timur Tengah yang lugas, namun dia juga mendekati rakyat dengan membangun infrastruktur berupa jalan-jalan yang menghubungkan antar wilayah.
Bersama putranya, Maulana Hasanuddin, Sunan Gunung Jati juga melakukan ekspedisi ke Banten, Penguasa setempat, Pucuk Umum, menyerahkan sukarela penguasaan wilayah Banten tersebut yang kemudian menjadi cikal bakal Kesultanan Banten.
Pada usia 89 tahun, Sunan Gunung Jati mundur dari jabatannya untuk hanya menekuni dakwah, Kekuasaan itu diserahkannya kepada Pangeran Pasarean, Pada tahun 1568 M, Sunan Gunung Jati wafat dalam usia 120 tahun, di Cirebon (dulu Carbon), dia dimakamkan di daerah Gunung Sembung, Gunung Jati, sekitar 15 kilometer sebelum kota Cirebon dari arah barat.
7. Sunan Drajat
Nama kecilnya Raden Qosim. Ia anak Sunan Ampel, dengan demikian dia bersaudara dengan Sunan Bonang, diperkirakan Sunan Drajat yang bergelar Raden Syaifuddin ini lahir pada tahun 1470 M, Sunan Drajat mendapat tugas pertama kali dari ayahnya untuk berdakwah ke pesisir Gresik, melalui laut, dia kemudian terdampar di Dusun Jelog pesisir Banjarwati atau Lamongan sekarang, tapi setahun berikutnya Sunan Drajat berpindah 1 kilometer ke selatan dan mendirikan padepokan santri Dalem Duwur, yang kini bernama Desa Drajat, Paciran-Lamongan.
Dalam pengajaran tauhid dan akidah, Sunan Drajat mengambil cara ayahnya langsung dan tidak banyak mendekati budaya lokal, meski pun demikian, cara penyampaiannya mengadaptasi cara berkesenian yang dilakukan Sunan Muria, terutama seni suluk, maka dia menggubah sejumlah suluk, diantaranya ialah suluk petuah “berilah tongkat pada si buta/beri makan pada yang lapar/beri pakaian pada yang telanjang’.
Sunan Drajat juga dikenal sebagai seorang bersahaja yang suka menolong, di pondok pesantrennya, dia banyak memelihara anak-anak yatim-piatu dan fakir miskin.
8. Sunan Kudus
Nama kecilnya Jaffar Shadiq, dia putra pasangan Sunan Ngudung dan Syarifah (adik Sunan Bonang), anak Nyi Ageng Maloka, disebutkan bahwa Sunan Ngudung ialah salah seorang putra Sultan di Mesir yang berkelana sampai di Jawa, di Kesultanan Demak, dia pun diangkat menjadi Panglima Perang.
Sunan Kudus banyak berguru pada Sunan Kalijaga, kemudian dia berkelana ke berbagai daerah tandus di Jawa Tengah seperti Sragen, Simo hingga Gunung Kidul, cara berdakwahnya pun meniru pendekatan Sunan Kalijaga sangat toleran pada budaya setempat, cara penyampaiannya bahkan lebih halus, itu sebabnya para wali yang kesulitan mencari pendakwah ke Kudus yang mayoritas masyarakatnya pemeluk teguh-menunjuknya.
Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus ialah dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan Budha, hal itu terlihat dari arsitektur Masjid Kudus, Bentuk menara, gerbang dan pancuran/padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan Kudus.
Suatu waktu, dia memancing masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan tabligh-nya, untuk itu, dia sengaja menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman Masjid, Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi, menjadi simpat,. apa lagi setelah mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al Baqarah yang berarti “sapi betina”, Sampai sekarang, sebagian masyarakat tradisional Kudus, masih menolak untuk menyembelih sapi.
Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan, kisah tersebut disusunnya secara berseri, sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti kelanjutannya, sebuah pendekatan yang tampaknya mengadopsi cerita 1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah, Dengan begitulah Sunan Kudus mengikat masyarakatnya.
Bukan hanya berdakwah seperti itu yang dilakukan Sunan Kudus, sebagaimana ayahnya, dia juga pernah menjadi Panglima Perang Kesultanan Demak, dia ikut bertempur saat Demak, dibawah kepemimpinan Sultan Prawata, bertempur melawan Adipati Jipang, Arya Penangsang.
9. Sunan Muria
Diaa putra Dewi Saroh adik kandung Sunan Giri sekaligus anak Syekh Maulana Ishak, dengan Sunan Kalijaga, nama kecilnya ialah Raden Prawoto, nama Muria diambil dari tempat tinggal terakhirnya di lereng Gunung Muria, 18 kilometer ke utara kota Kudus.
Gaya berdakwahnya banyak mengambil cara ayahnya, Sunan Kalijaga, namun berbeda dengan sang ayah, Sunan Muria lebih suka tinggal di daerah sangat terpencil dan jauh dari pusat kota untuk menyebarkan agama Islam.
Bergaul dengan rakyat jelata, sambil mengajarkan keterampilan-keterampilan bercocok tanam, berdagang dan melaut adalah kesukaannya.
Sunan Muria seringkali dijadikan pula sebagai penengah dalam konflik internal di Kesultanan Demak (1518-1530), dia dikenal sebagai pribadi yang mampu memecahkan berbagai masalah betapapun rumitnya masalah itu, Solusi pemecahannya pun selalu dapat diterima oleh semua pihak yang berseteru, Sunan Muria berdakwah dari Jepara, Tayu, Juana sampai sekitar Kudus dan Pati, salah satu hasil dakwahnya lewat seni ialah lagu Sinom dan Kinanti.
Demikian artikel dari Cerita Gaib - Asal Usul 9 Wali Songo, Saya tutup sampai disini, dan juga silahkan di ikuti pada Cerita Gaib kami yang lainnya dan tentunya tidak kalah menarik untuk di ikut
Maulana Malik Ibrahim yang tertua, Sunan Ampel anak Maulana Malik Ibrahim, Sunan Giri ialah keponakan Maulana Malik Ibrahim yang berarti juga sepupu Sunan Ampel, Sunan Bonang dan Sunan Drajad adalah anak Sunan Ampel, Sunan Kalijaga merupakan sahabat sekaligus murid Sunan Bonang, Sunan Muria anak Sunan Kalijaga, Sunan Kudus murid Sunan Kalijaga, Sunan Gunung Jati ialah sahabat para Sunan lain, kecuali Maulana Malik Ibrahim yang lebih dahulu meninggal.
Mereka tinggal di pantai utara Jawa dari awal abad 15 hingga pertengahan abad 16, di tiga wilayah penting, Yakni Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, dan Cirebon di Jawa Barat, Mereka ialah para intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya, Mereka mengenalkan berbagai bentuk peradaban baru: mulai dari kesehatan, bercocok tanam, niaga, kebudayaan dan kesenian, kemasyarakatan hingga pemerintahan.
Pesantren Ampel Denta dan Giri ialah dua institusi pendidikan paling penting di masa itu, Dari Sunan Giri, peradaban Islam berkembang ke seluruh wilayah Timur Nusantara, Sunan Giri dan Sunan Gunung Jati bukan hanya ulama, tapi juga sebagai pemimpin pemerintahan, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, dan Sunan Kudus ialah kreator karya seni yang pengaruhnya masih terasa sampai saat ini, Sedangkan Sunan Muria aialah pendamping sejati kaum jelata.
Masing-masing tokoh tersebut mempunyai peran yang unik dalam penyebaran Islam, Mulai dari Maulana Malik Ibrahim yang menempatkan diri sebagai “tabib” bagi Kerajaan Hindu Majapahit, Sunan Giri yang disebut para kolonialis sebagai “paus dari Timur” sampai Sunan Kalijaga yang mencipta karya kesenian dengan menggunakan nuansa yang dapat dipahami masyarakat Jawa ialah nuansa Hindu dan Budha.
1. Maulana Malik Ibrahim
Maulana Malik Ibrahim, atau Makdum Ibrahim As-Samarkandy diperkirakan lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh awal abad 14, Babad Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah Jawa terhadap As-Samarkandy, berubah menjadi Asmarakandi.
Maulana Malik Ibrahim kadang juga disebut sebagai Syekh Magribi, Sebagian rakyat malah menyebutnya Kakek Bantal, dia bersaudara dengan Maulana Ishak, ulama terkenal di Samudra Pasai, sekaligus ayah dari Sunan Giri (Raden Paku), Ibrahim dan Ishak ialah anak dari seorang ulama Persia, bernama Maulana Jumadil Kubro, yang menetap di Samarkand. Maulana Jumadil Kubro diyakini sebagai keturunan ke-10 dari Syayidina Husein, cucu Nabi Muhammad saw.
Maulana Malik Ibrahim pernah bermukim di Campa, sekarang Kamboja, selama tiga belas tahun sejak tahun 1379, dia malah menikahi putri Raja, yang memberinya dua putra, Mereka adalah Raden Rahmat (dikenal dengan Sunan Ampel) dan Sayid Ali Murtadha alias Raden Santri, Merasa cukup menjalankan misi dakwah di negeri itu, tahun 1392 M Maulana Malik Ibrahim hijrah ke Pulau Jawa meninggalkan keluarganya.
Beberapa versi menyatakan bahwa kedatangannya disertai beberapa orang, Daerah yang ditujunya pertama kali ialah Desa Sembalo, daerah yang masih berada dalam wilayah kekuasaan Majapahit, Desa Sembalo sekarang, adalah daerah Leran kecamatan Manyar, 9 kilometer utara kota Gresik.
Aktivitas pertama yang dilakukannya saat itu ialah berdagang dengan cara membuka warung, Warung itu menyediakan kebutuhan pokok dengan harga murah, Selain itu secara khusus Malik Ibrahim juga menyediakan diri untuk mengobati masyarakat secara gratis, Sebagai tabib, kabarnya, dia pernah diundang untuk mengobati istri raja yang berasal dari Campa, Besar kemungkinan permaisuri tersebut masih kerabat istrinya.
Kakek Bantal juga mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam, dia merangkul masyarakat bawah kasta yang disisihkan dalam Hindu, Maka sempurnalah misi pertamanya, ialah mencari tempat di hati masyarakat sekitar yang ketika itu tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara, Selesai membangun dan menata pondokan tempat belajar agama di Leran, tahun 1419 M Maulana Malik Ibrahim wafat, Makamnya kini terdapat di kampung Gapura, Gresik, Jawa Timur.
2. Sunan Ampel
Sunan Ampel ialah putera tertua Maulana Malik Ibrahim, Menurut Babad Tanah Jawi dan Silsilah Sunan Kudus, di masa kecilnya dia dikenal dengan nama Raden Rahmat, dia lahir di Campa pada 1401 Masehi, Nama Ampel sendiri, diidentikkan dengan nama tempat dimana dia lama bermukim, di daerah Ampel atau Ampel Denta, wilayah yang kini menjadi bagian dari Surabaya (kota Wonokromo sekarang).
Beberapa versi menyatakan bahwa Sunan Ampel masuk ke pulau Jawa pada tahun 1443 M bersama Sayid Ali Murtadho, sang adik, Tahun 1440, sebelum ke Jawa, mereka singgah dulu di Palembang, Setelah tiga tahun di Palembang, kemudian dia melabuh ke daerah Gresik, dilanjutkan pergi ke Majapahit menemui bibinya, seorang putri dari Campa, bernama Dwarawati, yang dipersunting salah seorang Raja Majapahit beragama Hindu bergelar Prabu Sri Kertawijaya.
Sunan Ampel menikah dengan putri seorang adipati di Tuban, Dari perkawinannya itu dia dikaruniai beberapa putera dan puteri, diantaranya yang menjadi penerusnya adalah Sunan Bonang dan Sunan Drajat, saat Kesultanan Demak (25 kilometer arah selatan kota Kudus) hendak didirikan, Sunan Ampel turut membidani lahirnya kerajaan Islam pertama di Jawa itu, dia pula yang menunjuk muridnya Raden Patah, putra dari Prabu Brawijaya V raja Majapahit, untuk menjadi Sultan Demak tahun 1475 M.
Di Ampel Denta yang berawa-rawa, daerah yang dihadiahkan Raja Majapahit, dia membangun mengembangkan pondok pesantren, Mula-mula dia merangkul masyarakat sekitarnya, Pada pertengahan Abad 15, pesantren tersebut menjadi sentra pendidikan yang sangat berpengaruh di wilayah Nusantara bahkan mancanegara, diantara para santrinya ialah Sunan Giri dan Raden Patah, Para santri tersebut kemudian disebarnya untuk berdakwah ke berbagai pelosok Jawa dan Madura.
Sunan Ampel menganut fikih mahzab Hanafi, Namun, pada para santrinya, dia hanya memberikan pengajaran sederhana yang menekankan pada penanaman akidah dan ibadah, Dia-lah yang mengenalkan istilah “Mo Limo” (moh main, moh ngombe, moh maling, moh madat, moh madon), ialah seruan untuk "tidak berjudi, tidak minum minuman keras, tidak mencuri, tidak menggunakan narkotik, dan tidak berzina."
Sunan Ampel diperkirakan wafat pada tahun 1481 M di Demak dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel, Surabaya.
3. Sunan Giri
Dia memiliki nama kecil Raden Paku, alias Muhammad Ainul ialah Sunan Giri lahir di Blambangan (kini Banyuwangi) pada 1442 M, ada juga yang menyebutnya Jaka Samudra, Sebuah nama yang dikaitkan dengan masa kecilnya yang pernah dibuang oleh keluarga ibunya seorang putri Raja Blambangan bernama Dewi Sekardadu ke laut, Raden Paku kemudian dipungut anak oleh Nyai Semboja (Babad Tanah Jawi versi Meinsma).
Ayahnya ialah Maulana Ishak, saudara sekandung Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishak berhasil meng-Islamkan isterinya, tapi gagal mengislamkan sang mertua, oleh karena itulah dia meninggalkan keluarga isterinya berkelana sampai ke Samudra Pasai.
Sunan Giri kecil menuntut ilmu di pesantren misannya, Sunan Ampel, tempat dimana Raden Patah juga belajar, dia sempat berkelana ke Malaka dan Pasai, setelah merasa cukup ilmu, dia membuka pesantren di daerah perbukitan Desa Sidomukti, Selatan Gresik, Dalam bahasa Jawa, bukit ialah “Giri”, Maka dia dijuluki Sunan Giri.
Pesantrennya tak hanya dipergunakan sebagai tempat pendidikan dalam arti sempit, namun juga sebagai pusat pengembangan masyarakat, Raja Majapahit - konon karena khawatir Sunan Giri mencetuskan pemberontakan memberi keleluasaan padanya untuk mengatur pemerintahan, maka pesantren itu pun berkembang menjadi salah satu pusat kekuasaan yang disebut Giri Kedaton, Sebagai pemimpin pemerintahan, Sunan Giri juga disebut sebagai Prabu Satmata.
Giri Kedaton tumbuh menjadi pusat politik yang penting di Jawa, waktu itu, saat Raden Patah melepaskan diri dari Majapahit, Sunan Giri malah bertindak sebagai penasehat dan panglima militer Kesultanan Demak, Hal tersebut tercatat dalam Babad Demak, Selanjutnya, Demak tak lepas dari pengaruh Sunan Giri, dia diakui juga sebagai mufti, pemimpin tertinggi keagamaan, se-Tanah Jawa.
Giri Kedaton bertahan hingga 200 tahun, salah seorang penerusnya, Pangeran Singosari, dikenal sebagai tokoh paling gigih menentang kolusi VOC dan Amangkurat II pada Abad 18.
Para santri pesantren Giri juga dikenal sebagai penyebar Agama Islam yang gigih ke berbagai pulau, seperti Bawean, Kangean, Madura, Haruku, Ternate, sampai Nusa Tenggara, Penyebar Islam ke Sulawesi Selatan, Datuk Ribandang dan dua sahabatnya, ialah murid Sunan Giri yang berasal dari Minangkabau.
Dalam keagamaan, dia dikenal karena pengetahuannya yang luas dalam ilmu fikih, Orang-orang pun menyebutnya sebagai Sultan Abdul Fakih, dia juga pecipta karya seni yang luar biasa, Permainan anak seperti Jelungan, Jamuran, lir-ilir dan cublak suweng disebut sebagai kreasi Sunan Giri, Demikian pula Gending Asmaradana dan Pucung lagi bernuansa Jawa namun syarat dengan ajaran Islam.
4. Sunan Bonang
Dia anak Sunan Ampel, yang berarti juga cucu Maulana Malik Ibrahim, nama kecilnya ialah Raden Makdum Ibrahim, Lahir diperkirakan 1465 M dari seorang perempuan bernama Nyi Ageng Manila, puteri seorang adipati di Tuban.
Sunan Kudus banyak berguru kepada Sunan Kalijaga, Kemudian dia berkelana ke berbagai daerah tandus di Jawa Tengah seperti Sragen, Simo hingga Gunung Kidul, cara berdakwahnya pun meniru pendekatan Sunan Kalijaga, sangat toleran pada budaya setempat, cara penyampaiannya bahkan lebih halus, itu sebabnya para wali yang kesulitan mencari pendakwah ke Kudus yang mayoritas masyarakatnya pemeluk teguh menunjuknya.
Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus ialah dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan Budha, hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus, Bentuk menara, gerbang dan pancuran/padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha, sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan Kudus.
Suatu waktu, dia memancing masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan tabligh-nya, untuk itu, dia sengaja menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid, Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi, menjadi simpati, apa lagi setelah mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al Baqarah, yang berarti “sapi betina”, Sampai sekarang, sebagian masyarakat tradisional Kudus, masih menolak untuk menyembelih sapi.
Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan, kisah tersebut disusunnya secara berseri, sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti kelanjutannya, sebuah pendekatan yang tampaknya mengadopsi cerita 1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah. dengan begitulah Sunan Kudus mengikat masyarakatnya.
Bukan hanya berdakwah seperti itu yang dilakukan Sunan Kudus, Sebagaimana ayahnya, dia juga pernah menjadi Panglima Perang Kesultanan Demak, dia ikut bertempur saat Demak, di bawah kepemimpinan Sultan Prawata, bertempur melawan Adipati Jipang, Arya Penangsang.
5. Sunan Kalijaga
Dialah "Wali" yang namanya paling banyak disebut masyarakat Jawa, dia lahir sekitar tahun 1450 Masehi, Ayahnya ialah Arya Wilatikta, Adipati Tuban keturunan dari tokoh pemberontak Majapahit, Ronggolawe, masa itu, Arya Wilatikta diperkirakan telah menganut Islam.
Nama kecil Sunan Kalijaga ialah Raden Said, dia juga memiliki sejumlah nama panggilan seperti Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran Tuban atau Raden Abdurrahman, Terdapat beragam versi menyangkut asal-usul nama Kalijaga yang disandangnya.
Masyarakat Cirebon berpendapat bahwa nama itu berasal dari dusun Kalijaga di Cirebon, Sunan Kalijaga memang pernah tinggal di Cirebon dan bersahabat erat dengan Sunan Gunung Jati, Kalangan Jawa mengaitkannya dengan kesukaan wali ini untuk berendam (‘kungkum’) di sungai (kali) atau “jaga kali”, Namun ada yang menyebut istilah itu berasal dari bahasa Arab “qadli dzaqa” yang menunjuk statusnya sebagai “penghulu suci” kesultanan.
Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun, Dengan demikian dia mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546 serta awal kehadiran Kerajaan Mataram di bawah pimpinan Panembahan Senopati, dia ikut pula merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak, Tiang “tatal” (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga.
Dalam dakwah, dia punya pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang, Paham keagamaannya cenderung “sufistik berbasis salaf” bukan sufi panteistik (pemujaan semata), dia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah.
Dia sangat toleran pada budaya lokal, dia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya, maka mereka harus didekati secara bertahap mengikuti sambil mempengaruhi, Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang.
Maka ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam, dia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, dan seni suara suluk sebagai sarana dakwah, Dialah pencipta Baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, Layang Kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi Raja, Lanskap pusat kota berupa Kraton, alun-alun dengan dua beringin serta Masjid diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga.
Metode dakwah tersebut sangat efektif, Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga, diantaranya ialah Adipati Padanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, dan pajang (sekarang Kotagede–Yogya), Sunan Kalijaga dimakamkan di Kadilangu selatan Demak.
6. Sunan Gunung Jati
Banyak kisah tak masuk akal yang dikaitkan dengan Sunan Gunung Jati, Diantaranya ialah bahwa dia pernah mengalami perjalanan spiritual seperti Isra’ Mi’raj, lalu bertemu Rasulullah SAW, bertemu Nabi Khidir, dan menerima wasiat Nabi Sulaeman. (Babad Cirebon Naskah Klayan hal.xxii).
Semua itu hanya mengisyaratkan kekaguman masyarakat masa itu pada Sunan Gunung Jati, Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah diperkirakan lahir sekitar tahun 1448 M, Ibunya ialah Nyai Rara Santang, putri dari Raja Pajajaran Raden Manah Rarasa, sedangkan ayahnya ialah Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda, pembesar Mesir keturunan Bani Hasyim dari Palestina.
Syarif Hidayatullah mendalami ilmu agama sejak berusia 14 tahun dari para ulama Mesir, dia sempat berkelana ke berbagai negara, Menyusul berdirinya Kesultanan Bintoro Demak, dan atas restu kalangan ulama lain, dia mendirikan Kasultanan Cirebon yang juga dikenal sebagai Kasultanan Pakungwati.
Dengan demikian, Sunan Gunung Jati ialah satu-satunya “Wali Songo” yang memimpin pemerintahan, Sunan Gunung Jati memanfaatkan pengaruhnya sebagai putra Raja Pajajaran untuk menyebarkan Islam dari pesisir Cirebon ke pedalaman Pasundan atau Priangan.
Dalam berdakwah, dia menganut kecenderungan Timur Tengah yang lugas, namun dia juga mendekati rakyat dengan membangun infrastruktur berupa jalan-jalan yang menghubungkan antar wilayah.
Bersama putranya, Maulana Hasanuddin, Sunan Gunung Jati juga melakukan ekspedisi ke Banten, Penguasa setempat, Pucuk Umum, menyerahkan sukarela penguasaan wilayah Banten tersebut yang kemudian menjadi cikal bakal Kesultanan Banten.
Pada usia 89 tahun, Sunan Gunung Jati mundur dari jabatannya untuk hanya menekuni dakwah, Kekuasaan itu diserahkannya kepada Pangeran Pasarean, Pada tahun 1568 M, Sunan Gunung Jati wafat dalam usia 120 tahun, di Cirebon (dulu Carbon), dia dimakamkan di daerah Gunung Sembung, Gunung Jati, sekitar 15 kilometer sebelum kota Cirebon dari arah barat.
7. Sunan Drajat
Nama kecilnya Raden Qosim. Ia anak Sunan Ampel, dengan demikian dia bersaudara dengan Sunan Bonang, diperkirakan Sunan Drajat yang bergelar Raden Syaifuddin ini lahir pada tahun 1470 M, Sunan Drajat mendapat tugas pertama kali dari ayahnya untuk berdakwah ke pesisir Gresik, melalui laut, dia kemudian terdampar di Dusun Jelog pesisir Banjarwati atau Lamongan sekarang, tapi setahun berikutnya Sunan Drajat berpindah 1 kilometer ke selatan dan mendirikan padepokan santri Dalem Duwur, yang kini bernama Desa Drajat, Paciran-Lamongan.
Dalam pengajaran tauhid dan akidah, Sunan Drajat mengambil cara ayahnya langsung dan tidak banyak mendekati budaya lokal, meski pun demikian, cara penyampaiannya mengadaptasi cara berkesenian yang dilakukan Sunan Muria, terutama seni suluk, maka dia menggubah sejumlah suluk, diantaranya ialah suluk petuah “berilah tongkat pada si buta/beri makan pada yang lapar/beri pakaian pada yang telanjang’.
Sunan Drajat juga dikenal sebagai seorang bersahaja yang suka menolong, di pondok pesantrennya, dia banyak memelihara anak-anak yatim-piatu dan fakir miskin.
8. Sunan Kudus
Nama kecilnya Jaffar Shadiq, dia putra pasangan Sunan Ngudung dan Syarifah (adik Sunan Bonang), anak Nyi Ageng Maloka, disebutkan bahwa Sunan Ngudung ialah salah seorang putra Sultan di Mesir yang berkelana sampai di Jawa, di Kesultanan Demak, dia pun diangkat menjadi Panglima Perang.
Sunan Kudus banyak berguru pada Sunan Kalijaga, kemudian dia berkelana ke berbagai daerah tandus di Jawa Tengah seperti Sragen, Simo hingga Gunung Kidul, cara berdakwahnya pun meniru pendekatan Sunan Kalijaga sangat toleran pada budaya setempat, cara penyampaiannya bahkan lebih halus, itu sebabnya para wali yang kesulitan mencari pendakwah ke Kudus yang mayoritas masyarakatnya pemeluk teguh-menunjuknya.
Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus ialah dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan Budha, hal itu terlihat dari arsitektur Masjid Kudus, Bentuk menara, gerbang dan pancuran/padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan Kudus.
Suatu waktu, dia memancing masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan tabligh-nya, untuk itu, dia sengaja menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman Masjid, Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi, menjadi simpat,. apa lagi setelah mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al Baqarah yang berarti “sapi betina”, Sampai sekarang, sebagian masyarakat tradisional Kudus, masih menolak untuk menyembelih sapi.
Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan, kisah tersebut disusunnya secara berseri, sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti kelanjutannya, sebuah pendekatan yang tampaknya mengadopsi cerita 1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah, Dengan begitulah Sunan Kudus mengikat masyarakatnya.
Bukan hanya berdakwah seperti itu yang dilakukan Sunan Kudus, sebagaimana ayahnya, dia juga pernah menjadi Panglima Perang Kesultanan Demak, dia ikut bertempur saat Demak, dibawah kepemimpinan Sultan Prawata, bertempur melawan Adipati Jipang, Arya Penangsang.
9. Sunan Muria
Diaa putra Dewi Saroh adik kandung Sunan Giri sekaligus anak Syekh Maulana Ishak, dengan Sunan Kalijaga, nama kecilnya ialah Raden Prawoto, nama Muria diambil dari tempat tinggal terakhirnya di lereng Gunung Muria, 18 kilometer ke utara kota Kudus.
Gaya berdakwahnya banyak mengambil cara ayahnya, Sunan Kalijaga, namun berbeda dengan sang ayah, Sunan Muria lebih suka tinggal di daerah sangat terpencil dan jauh dari pusat kota untuk menyebarkan agama Islam.
Bergaul dengan rakyat jelata, sambil mengajarkan keterampilan-keterampilan bercocok tanam, berdagang dan melaut adalah kesukaannya.
Sunan Muria seringkali dijadikan pula sebagai penengah dalam konflik internal di Kesultanan Demak (1518-1530), dia dikenal sebagai pribadi yang mampu memecahkan berbagai masalah betapapun rumitnya masalah itu, Solusi pemecahannya pun selalu dapat diterima oleh semua pihak yang berseteru, Sunan Muria berdakwah dari Jepara, Tayu, Juana sampai sekitar Kudus dan Pati, salah satu hasil dakwahnya lewat seni ialah lagu Sinom dan Kinanti.
Demikian artikel dari Cerita Gaib - Asal Usul 9 Wali Songo, Saya tutup sampai disini, dan juga silahkan di ikuti pada Cerita Gaib kami yang lainnya dan tentunya tidak kalah menarik untuk di ikut
0 Response to "Cerita Gaib - Asal Usul 9 Wali Songo"
Posting Komentar